Malam ini, seperti malam-malam lainnya, kami menapaki jalan sempit yang biasa kami lewati untuk shalat Isya’ berjamaah di masjid. Lumayan jauh memang. Tapi kami begitu menikmatinya. Selain ampunan di setiap langkahnya, kami begitu menikmati cahaya bintang-bintang yang terhampar di langit malam. Sepanjang jalan yang biasa kami lewati itu masih jauh dari keramaian kota, masih jauh dari benderang lampu jalan maupun lampu lainnya yang dapat mereduksi cahaya bintang yang jatuh ke retina mata kami. Sehingga, gugusan-gugusan bintang itu begitu jelas. Cahayanya terasa begitu dekat.
Entah apa yang sedang dipikirkan oleh sobatku ini. Matanya menerawang ke atas, menatap bintang-bintang di langit malam. Wajahnya tampak serius. Tapi bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Sungguh aku tak dapat menerka apa yang ada di pikirannya sekarang.
“Apa yang sedang kau pikirkan, Di?”
“Aku sedang berdialog dengan bintang-bintang itu.”, jawab Hadi singkat.
“Hmmm… menarik. Apa yang barusan kalian bicarakan?”, tanyaku penasaran.
“Aku bertanya kepada salah satu bintang di sana, ‘Wahai bintang, apakah kau menjumpai mimpiku?’ Dengan ramah bintang itu menjawab, ‘Maaf, kami tak menjumpainya, tapi kami tau keberadaannya. Jauh lebih tinggi dari tempat kami berada dan jauh lebih bercahaya daripada cahaya yang kami pancarkan.”
Itulah Hadi. Sahabat yang sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Ia bukan orang gila yang mengajak bintang berbicara. Imajinasinya lah yang mengajaknya berdialog pada sekitarnya. Imajinasi kami lah yang menciptakan keindahan tersendiri dalam setiap interaksi kami.
“Lalu, apa mimpimu itu?”, lanjutku.
“Terlalu banyak mimpiku itu. Seperti banyaknya gugusan bintang yang sedang kita lihat sekarang. Tak mungkin aku menyebutkannya satu per satu.”
“Kalau begitu, bisakah kau jelaskan satu saja mimpimu itu?”
Hadi agak lama terdiam. Tampaknya memang banyak mimpi di kepalanya. Tapi ia hanya terdiam beberapa detik. Setelah itu ia memetik salah satu mimpinya, dan mengatakan, “Seorang penulis.”
“Apa yang membuatmu berpikir untuk menjadi seorang penulis?”, tanyaku penasaran.
“Sungguh, menulis adalah pekerjaan besar yang dilakukan oleh orang-orang besar.  Orang-orang yang memiliki kekuatan hati, jiwa, ruh, dan akal. Kekuatan untuk mengalirkan hasil sinergi dari cerapan indra, memori, dan imajinasi menuju ke ujung-ujung jari. Lalu membentuk sinergi kata-kata yang memiliki kekuatan. Kekuatan kata yg tersusun apik. Kekuatan yang mampu menyatukan hati, meledakkan potensi, bahkan mampu merusak sinergi.
Karena itu, Tuhan mengamanahkan setiap kata-kata-Nya pada insan terbaik dan generasi terbaik. Karena itu, pena-pena inspirasi dititipkan pada insan yang berhati lembut. Karena itu, tinta ilmu dititipkan pada insan berjiwa tangguh. Karena itu, lembar sejarah dititipkan pada insan pemilik ruh nan kokoh.”